Wednesday 23 September 2015

Keuangan publik menurut sistem ekonomi Syariah



KATA PENGANTAR

       Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Keuangan publik sistem ekonomi syariah.adapun makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas dari Bapak Dr.Ihsan Ro’is selaku dosen mata kuliah sistem ekonomi syariah. .
       Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai bagaimana sejarah dan teori tentang Keuangan publik menurut sistem ekonomi Syariah.
 Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
       Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.


Mataram,19 September



Penyusun












DAFTAR ISI
Kata pengantar ....................................................................................................     1
Daftar isi..............................................................................................................     2
BAB I.PENDAHULUAN..................................................................................    3
1.      LATAR BELAKANG............................................................................     3
2.      RUMUSAN MASALAH.......................................................................     4
BAB II.PEMBAHASAN...................................................................................     5
I.       SEJARAH KEUANGAN PUBLIK ISLAM.........................................     5
II.    KAIDAH KEUANGAN PUBLIK ISLAM..........................................     9
III. KARAKTERISTIK KEUANGAN PUBLIK ISLAM..........................   13           
IV. INSTRUMEN KEUANGAN PUBLIK ISLAM...................................   14
V.    PANDANGAN PARA AHLI................................................................   16
PENUTUP........................................................................................................... 17
      KESIMPULAN............................................................................................. 17
     DAFTAR PUSTAKA....................................................................................   18












BAB I
PENDAHULUAN
1.    
    LATAR BELAKANG
Sejak zaman Nabi Muhammad, ekonomi Islam telah berjalan hampir diseluruh jazirah Arab bahkan sampai ke Afrika ini ditandai dengan adanya kelompok-kelompok atau suku-suku di Arab waktu itu melakukan transaksi atau berdagang hingga berbulan-bulan, karena dalam Islam tidak ada larangan bagi seorang Islam berhubungan toisriis dan dagang dengan non Islam. Namun Islam juga memiliki prinsip-prinsip etika dalam melakukan Ekonomi Islam yang salah satunya adalah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (bunga) yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an.
            Sistem ekonomi Islam sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalis yang banyak diterapkan oleh negara-negara barat termasuk negara-negara Islam. Namun akhir-akhir ini ekonomi Islam yang diterapakn secara syariah ulai diperhitungkan oleh ekonomi Global, terbukti pada saat menjadi solusi untuk menyelamatka dari krisis ekonomi di tahun 1998. Hal ini dibuktikan di tengah krisis ekonomi tahun 1998, ketika perbankan konvensional berguguran (likuidasi) oleh Pemerintah, ekonomi syariah mampu bertahan. Sistem Ekoomi Syariah memliki prospek yang sangat baik untuk berkembang di negara-negara Islam khususnya di Indonesia. Tidak hanya itu saja saat ini pun sudah banyak lembaga keuangan dengan prinsip syariah seperti, asuransi, pegadaian, pasar modal, dan komoditas syariah.
            Pada prinsipnya sistem ekonomi syariah Islam bukan hanya untuk mementingkan suatu golongan tertentu atau setidaknya kepentingan sendiri untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan bagaiman kondisi nasabahnya. Perekonomian Islam tidak menggunakan sistem riba melainkan dengan sistem bagi hasil yang transparan, jujur dan akad (perjanjian) yang baik.
            Kemunduran ekonomi kapitalis yang menerapkan asas pasar bebas dan ekonomi sosialis dengan kontrol negara dalam perekonomian secara terpusat, merupakan titik pijak bagi perkembangan ekonomi syariah. Asas yang didepankan dalam ekonomi syariah adalah keadilan atau kesetaraan hak dan kewajiban, peniadaan segala bentuk penindasan atau penggerogotan terhadap pihak lain, serta memiliki dimensi sosiologis. Pilar utama perekonomian syariah adalah perbankan syariah





RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana sejarah keuangan public di zaman Rasulullah SAW ?
2.      Kaidah keuangan publik islam?
3.      Apa saja karakteristik keuangan publik islam ?
4.      Apa saja instrument keuangan publik dalam islam ?



















BAB II
                                                                PEMBAHASAN

I.Sejarah Keuangan Publik Islam
Ketika perkembangan islam mulai tampak, dan islam telah didakwahkan secara terang – terangan (persuasive), Rasulullah SAW. Mulai mengutus para sahabat untuk dijadikan duta guna mendakwahkan agama dan mengambil zakat masyarakat Arab. Hal utama yang harus dilakukan utusan adalah memberikan pelajaran agama terlebih dahulu kepada pemimpin kabilah, dan diharapkan bisa merambah pada kaumnya, Rasulullah SAW telah mendelegasikan Muadz bin jabal ke Yaman dengan job deskripsi yang jelas, seraya bersabda:  “ Engkau aku utus untuk datang kepada kaum ahli kitab. Persoalan utama yang harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah mengajak untuk beribadah kepada Allah SWT. Jika mereka telah mengetahui Allah SWT, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan membayar zakat. Zakat ditarik ( diwajibkan ) dari orang – orang kaya, dan selanjutnya dibagikan kepada kaum kafir. Jika mereka menantinya, maka ambilah dari mereka dan jaga kemuliaan harta mereka. Dan takutlah terhadap doa orang yang terdzalimi, karena doa mereka tidak ada hijab dengan Allah.” 
Rasulullah SAW, pernah mengirimkan surat kepada pegawainya Amr bin harits di najran tentang persoalan zakat, sedekah dan diyat. Rasulullah juga selektif dalam memilih pegawainya, yakni mereka yang agamanya kuat (shalih) dan merupakan pionir dalam masuk agama islam. Agar perekonomian dan pemerintahan Rasulullah SAW menjadi kuat serta dapat membiayai kehidupan umat islam. 
Tujuan utama dalam perekonomian adalah Untuk mencapai falah yang maksimum, tidak seluruh aktifitas ekonomi bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. Adakalanya mekanisme pasar gagal menyediakan barang dan jasa yang dibutuhka oleh masyarakat ataupun mekanisme pasar tidak bekerja secara fair dan adil. 
Permasalahan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana berjalannya perekonomian Islam pada zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrasidin, darimana sumber dana yang digunakan untuk penyediaan barang atau jasa tersebut, bagaimana alokasi dan distribusi barang atau jasa yang disediakan oleh pemerintah atau masyarakat tersebut. 
1.      Keuangan Publik Pada Masa Rasulullah SAW. 
Untuk memahami sejarah keuangan publik pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin, dapat dilihat dari praktik dan kebijakan yang diterapkan oleh beliau dan para sahabat. Mengenai keuangan publik pada masa Rasulullah SAW adalah berangkat dari kedudukan beliau sebagai kepala Negara. Demikian halnya dengan para sahabat Khulafaurrasyidin. 
Setelah selama 13 tahun di Mekkah, beliau hijrah ke Madinah. Pada saat hijrah ke Madinah, kota ini masih dalam keadaan kacau, belum memiliki pemimpin ataupun raja yang berdaulat. Di kota ini banyak suku, salah satunya adalah suku Yahudi yang dipimpin oleh Abdullah Ibn Ubay. Setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, maka Madinah dalam waktu singkat , mengalami kemajuan yang pesat. Rasulullah SAW berhasil memimpin seluruh pusat pemerintahan Madinah, menerapkan prinsip-prinsip dalam pemerintahan dan organisasi, membangun institusi-institusi, mengarahkan urusan luar negeri, membimbing para sahabatnya dalam memimpin dan pada akhirnya melepaskan jabatannya secara penuh. 
2.      Keuangan Publik Pada Masa Khulafaurrasyidin . 
a.      Masa Kekhalifahan Abu Bakar As-shiddiq 
Abu Bakar Shiddiq terpilih sebagai khalifah dalam kondisi miskin, sebagai pedagang dengan hasil yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus oleh kekayaan dari Baitul Maal ini. Menurut beberapa keterangan, beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dari Baitul Maal dengan tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan lain 6.000 dirham per-tahun.
Selama sekitar 27 bulan dimasa kepemimpinannya, Abu Bakar As-Shiddiq telah banyak menangani masalah murtad, cukai, dan orang-orang yang menolak membayar zakat kepada Negara. Abu Bakar As-Shiddiq sangat memerhatikan keakuratan penghitungan zakat. Zakat selalu didistribusikan setiap periode dengan tanpa sisa. Sistem pendistribusian ini tetap dilanjutkan, bahkan hingga beliau wafat hanya 1 dirham yang tersisa dalam pembendaharaan keuangan. 

b.      Masa Kekhalifahan Umar Bin Khatab Al-Faruqi 
Ada beberapa hal yang perlu dicatat berkaitan dengan masalah kebijakan keuangan Negara pada masa khalifah Umar, diantaranya adalah: 
1)      Baitul Maal 
Property Baitul Maal dianggap sebagai “harta kaum muslim” sedangkan khalifah dan amil-amilnya hanyalah pemegang kepercayaan. Jadi, merupakan tanggun jawab Negara untuk menyediakan tunjangan yang berkesinambungan untuk janda, anak yatim, anak terlantar, membiayai penguburan orang miskin, membayar hutang orang-orang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu dan untuk memberikan pinjaman tanpa bunga untuk urusan komersial . 
2)      Kepemilikan Tanah 
Sepanjang pemerintahan Umar, banyak daerah yang ditaklukan melalui perjanjian damai. Disinilah mulai timbul permasalahan bagaimana pembagiaanya, diantaranya ada sahabat yang menuntut agar kekayaan tersebut didistribusikan kepada para pejuang, sementara yang lainnya menolak. Oleh karena itu, dicarilah suatu rencana yang cocok baik untuk mereka yang datang pertama maupun yang datang terakhir. 
3)      Zakat dan Ushr 
Sebelum Islam, setiap suku atau kelompok suku yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (ushr) pembelian dan penjualan (maqs). Setelah Negara Islam berdiri di Arabia, Nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan menghapuskan bea masuk antar propinsi yang masuk dalam daerah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditangani oleh beliau bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaaanya. 
4)      Sedekah untuk non-Muslim 
Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Banu Taghlib yang seluruh kekayaannya terdiri dari ternak. Mereka membayar 2 kali lipat dari yang dibayar kaum muslim. Banu Taghlib adalah suku Arab Kristen yang menderita akibat perperangan. Umar mengenakan Jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah. Namun, Ibnu Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya tidaklah bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi asset Negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar, dengan syarat mereka setuju untuk tidak mebaptis seorang anak atau memaksakannya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka pun menyetujui dan menerima membayar sedekah ganda. 
5)      Mata Uang 
Pada masa nabi dan sepanjang masa Khulafaurrasyidin mata uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperi dinar, sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan mistqal atau sama dengan dua puluh qirath atau seratus grain barley. Bobot dirham tidak seragam. Untuk menghindari kebingungan, Umar menetapkan bahwa dirham perak seberat 14 qirath atau 70 grain barley. Dus, rasio antara 1 dirham dan 1 mistqal adlah 7 per 10. Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa sebelum nabi lahir, perekonomian saat itu telah menggunakan emas dan perak sebagai alat transaksi. 
6)      Klasifikasi Pendapatan Negara 
Pada periode awal Islam, para khalifah mendistribusikan semua pendapatan yang diterima. Kebijakan tersebut berubah pada masa Umar. Pendapatan yang diterima di Baitul Maal terbagi dalam 4 jenis: 

a)      Zakat dan ushr 
Dana ini dipungut secara wajib diperoleh dari kaum Muslimin dan didistribusikan kepada 8 asnaf dalam tingkat lokal. Kelebihan disimpan di Baitul Maal pusat, dan akan dibagikan kembali.

b)      Khums dan Sedekah 
Dana ini dibagikan kepada orang yang sangat membutuhkan dan fakir miskin atau untuk membiayai kegiatan mereka dalam mencari kesejahteraan tanpa diskriminasi

c)      Kharaj, fay, jizyah, ushr dan sewa tetap tahunan tanah 
Dana ini diperoleh dari pihak luar (non-Muslim/non-warga) dan didistribusikan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan, serta menutupi pengeluaran operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
d)     Berbagai macam pendapatan yang diterima dari semua macam sumber. Dana ini dikeluarkan untuk para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.

7)      Pengeluaran 
Bagian pengeluaran yang paling penting dari pendapatan keseluruhan adalah dana pension kemudian diikuti oleh dana pertahanan Negara dan dana pembangunan. Secara garis besar pengeluaran Negara pada masa kekhalifahan Umar dikeluarkan untuk kebutuhan yang mendapat prioritas pertama, yaitu pengeluaran dana pensiunbagi mereka yang bergabung dalam kemiliteran, baik muslim maupun non-Muslim. Dana tersebut juga termasuk pensiunan bagi pegawai sipil. 

c.       Masa Kekhalifahan Utsman Bin Affan
Utsman bin Affan adalah khalifah ketiga. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, Kabul, Ghazni, Kerman, dan Sistan ditaklukkan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama setelah Negara-negara tersebut ditaklukkan, kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka pengembangan Sumber Daya Alam (SDA). Aliran air digali, jalan dibangun, pohon buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.

Khalifah Utsman tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, dia meringankan beban pemerintah dalam hal; yang serius. Dia bakan menyimpan uangnya di bendahara Negara. Hal ini menimbulkan kesalahpahamn antarakhalifah dan Abdullah Bin Arqom, salah seorang sahabat nabi yang terkemuka, yang berwenang melaksanakan kegiatan baitul maal pusat. Beliau juga berusaha meningkatkan pengeluaran dan pertahanandan kelautan, meningkatkan dana pensiun dan pembanguunan di wilayah takhlukan baru, khalifah membuat beberapa perubahan administrasi dan meningkatkan kharaj dan jizyah dari Mesir. 

Lahan luas yang dimiliki keluarga kerajaan Persia diambil alih oleh Umar, tetapi dia menyimpannya sebagai lahan Negara yang tidak dibagi-bagi. Sementara itu, Utsman membaginya kepada individu-individu untuk reklamasi dan untuk kontribusi sebagai bagian yang diprosesnya kepada Baitul Maal. Dilaporkan bahwa lahan ini pada masa khalifah Umar bin Khattab menghasilkan Sembilan juta dirham, tetapi pada masa Utsman bin Affan ketika lahan telah dibagikan kepada individu-individu, penerimaannya meningkat menjadi lima puluh juta. Pada periode selanjutnya dia juga mengizinkan menukar lahan tersebut dengan lahan yang ada di Hijaz dan Yaman, sementara kebijakan Umar tidak demikian.

d.      Masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib 
Setelah meninggalnya khalifah Utsman bin Affan, Ali terpilih sebagai khalifah dengan suara bulat. Ali menjadi khalifah selama 5 tahun. Kehidupan Ali sangat sederhana dan dia sangat ketat dalam menjalankan keuangan Negara. Gubernur Ray dijebloskan ke penjara oleh khalifah dengan tuduhan penggelapan uang Negara.

Dalam hal penerimaan Negara, Ali masih membebankan pungutan khums atas ikan atau hasil hutan. Menurut Baladhuri, Ali membebankan para pemilik hutan (Ajmat) 4.000 dirham. Di hutan ini, terdapat ngarai yang dalam, yang menurut beberapa orang, tanahnya dibuat untuk batu-batu istana, dan menurut yang lainnya, itu adalah tanah longsor

Berbeda dengan khalifah Umar, khalifah Ali mendistribusikan seluruh pendapatan di baitul maal ke profinsi yang ada di baitul maal Madinah, Bushra dan Kufa. System sistribusi setiap pecan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu penghitungan diselesaikan dan pada hari sabtu dimulai perhitungan baru. 

Dalam hal alokasi pengeluaran masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah jumlahnya pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan hamper dihilangkan seluruhnya karena daerah sepanjang garis pantai seperti Syiria, Palestina, dan Mesir berada dibawah kekuasaan Muawiyah. Namun, dengan adanya penjaga malam dan patrol (diciptakan oleh Umar), khalifah keempat tetap menyediakan polisi regular yang terorganisasi, yang disebut Shurta, dan pemimpinnya diberi gelar Sahibush-Shurta. Fungsi lain dari Baitul Maal masih tetap sama seperti yang dulu dan tidak ada perkembangan aktivitas yang berarti pada periode ini.



  








II.Kaidah Keuangan Publik Islam
Belanja negara adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan dana perimbangan (Pasal 1 Angka 7 UU Nomor 35 Tahun 2000 Tentang APBN Tahun 2001)
Dalam konsep ekonomi Islam, belanja negara harus sesuai dengan syari’iyyah dan penentuan skala prioritas. Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah umum yang disyariatkan dalam Al-Qur’an dan as-sunah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Kaidah-kaidah tersebut sebagai berikut
a.       Bahwa timbangan kebijakan pengeluaran dan belanja pemerintahan harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
b.      Menghindari masyaqqah, (al-masyaqqah), menurut arti bahasa adalah at-ta’ab, yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran.
c.       Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat skala besar.
d.      Pengorbanan individu atau kerugian individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
e.       Kaidah “al-giurmu bil gunmi’, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban.
f.       Kaidah “ma> la> yatimmu al-wa>jibu illa> bihi fahuwa wa>jib”, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa; ”sesuatu hal yang wajib ditegakkan, dan tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.

Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam merealisasikan efektivitas dan efisiensi dalam pola pembelanjaan pemerintah dalam Islam sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Tujuan pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sebagai beriku
a.       Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
b.      Pengeluaran sebagai alat retribus kekayaan.
c.       Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
d.      Penegeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
e.       Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar[7].

Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut.
a.       Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
b.      Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
c.       Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.

Adapun kaidah syariah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas, secara lebih perinci pembelanjaan negara harus didasarkan pada hal-hal berikut ini
a.       Bahwa kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan  asas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pemerintah.
b.      Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dalam biaya semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubadzir dan kikir di samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
c.       Kaidah selanjutnya adalah tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaannya, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada nas-nas yang sahih seperti pada kasus “al-hima” yaitu tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukkan bagi kepentingan umum. Ketika Rasulullah mengkhususkan tanah untuk pengembalaan ternak kaum duafa, Rasulullah melarang ternak-ternak milik para agniya atau orang kaya yang mengembala di sana. Bahkan Umar berkata: “Hati-hati jangan sampai ternak Abdurrahman bin Auf mendekati lahan pengembalaan kaum duafa.”
d.      Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja negara hanya hanya boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.
e.       Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, di mulai dari yang wajib, sunah, dan mubah.
Adapun belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia, mencakup pengadaan infrastruktur air, listrik, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Selanjutnya adalah belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat  berikut sistem pendanaannya. Bentuk belanja seperti ini biasanya melalui mekanisme produksi barang-barang yang disubsidi. Subsidi sendiri sesuai dengan konsep syariah yang memihak kepada kaum fuqara dalam hal kebijakan keuangan, yaitu bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka. Tetapi konsep subsidi harus dibenahi sehingga mekanisme tersebut mencapai tujuannya. Konsep tersebut di antaranya adalah dengan penentuan subsidi itu sendiri, yaitu bagi yang membutuhkan bukan dinikmati oleh orang kaya, atau subsidi dalam bentuk bantuan langsung.

Analisis Kebijakan Pengeluaran Negara Sepanjang Sejarah Dalam Islam
Menurut Ibnu Taimiyah,, prinsip dasar dari pengelolaan pengeluaran adalah pendapatan yang berada di tangan pemerintahan atau negara merupakan milik masyarakat sehingga harus dibelanjakan untuk kebutuhan masyarakat sesuai dengan pedoman Allah SWT. Saat membelanjakan membelanjakan uang masyarakat, maka harus diprioritaskan kepada hal-hal yang penting. Dalam pandangannya, pembelanjaan utama antara lain:
a.       Kaum miskin dan yang membutuhkan.
b.      Pemeliharaan tentara untuk jihad dan pertahanan.
c.       Pemeliharaan ketertiban dan hukum internal.
d.      Pensiun dan gaji pegawai.
e.       Pendidikan.
f.       Infrastruktur.
g.      Kesejahteraan umum.
Dalam pengalokasian sumber penerimaan terhadap pengeluaran tidak serta-merta dilakukan untuk pengeluaran tersebut di atas. Ada pengaturan dan penyesuaian antara sumber pendapatan dan pengeluaran. Untuk penerimaan dari zakat dan ganimah peruntukannya sudah ditentukan seara jelas dalam Al-Qur’an, sedangkan fa pemanfaatannya lebih fleksibel untuk meng-cover pengeluaran publik lainnya.
Menurut Sakti, dalam Islam, semua jenis pendapatan dimasukan ke dalam bait al-ma>l, lalu digunakan pada dua jenis penyaluran, anggaran untuk kesejahteraan dan anggaran untuk umum. Adapun anggaran untuk umum berasal dari pendapatan lainnya, seperti pajak dan non-pajak. Didapatkan bahwa Islam lebih terfokus pada kesejahteraan masyarakatnya daripada pertumbuhan ekonomi semata. Dalam pengelolaan agama Islam  pemerintah sebaiknya mendahulukan kepentingan syariah daripada pertimbangan negara yang bersifat keduniaan.
III.Karakteristik Keuangan Publik  dalam islam
Pandangan Ahli Fiqh terhadap Zakat dan Pajak 
   Zakat merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang Islam setelah memenuhi kriteria tertentu. Dalam Al-Qur’an terdapat 32 kata zakat, dan 82 kali di ulang dengan menggunakan istilah yang merupakan sinonim dari kata zakat, yaitu kata sedekah dan infaq. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi, dan peranan yang sangat penting dalam islam. Dari 32 ayat dalam Al-Qur’an yang memuat ketentuan zakat tersebut, 29 ayat diantaranya menghubungkan ketentuan zakat dengan shalat.
Nash Al-Qur’an tentang zakat diturunkan dalam dua periode, yaitu periode Makkah sebanyak delapan ayat (Al-Muzzammil [73] : 20 , Al-Bayyinah [98] : 5) dan periode Madinah sebanyak 24 ayat (misalnya Al-Baqarah [2] : 43 , Al-Maidah [5] : 12). Perintah zakat yang diturunkan pada periode Makkah, sebagaimana terdapat dalam kedua ayat tersebut diatas, baru merupakan anjuran untuk berbuat baik kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Sedangkan yang diturunkan pada periode Madinah, merupakan perintah yang telah menjadi kewajiban mutlak (ilzami).
Dilihat dari segi kebahasaan, teks-teks Al-Qur’an yang mengungkapkan perihal zakat, sebagian besar dalam bentuk amr (perintah) dengan menggunakan kata atu (tunaikan), yang berarti berketetapan; segera; sempurna sampai akhir; kemudahan; mengantar; dan seorang yang agung. Kata tersebut bermakna al-I’tha’, suatu perintah untuk menunaikan atau membayarkan.
Al-Qur’an menampilkan kata zakat dalam empat gaya bahasa (uslub), yaitu :
a.       Menggunakan uslub insyai, yaitu berupa perintah, seperti terlihat dalam QS. Al-Baqarah [2]:42, 83, 110; Al-Hajj [22]:78; Al-Ahzab [33]:33; Al-Nur [241]:56; Al-Muzammil [73]:20, dengan menggunakan kata atu atau anfiqu. Dalam ayat lain digunakan pula kata kerja dengan menggunakan kata khuz, yaitu perintah untuk mengambil atau memungut zakat (shadaqah), seperti terdapat dalam QS. At-Taubah [9]:103. Sasaran perintah ini adalah para penguasa (amil zakat) untuk memungut dan mengelola zakat dari para wajib zakat.
b.      Menggunakan uslub targhib (motivatif), yaitu suatu dorongan untuk tetap mendirikan shalat dan membayarkan zakat yang merupakan ciri orang yang keimanan dan ketaqwaannya dianggap benar, kepada mereka dijanjikan akan memperoleh ganjaran berlipat ganda dari Tuhan. Salah satu bentuk targhib ini dapat ditemukan pada QS Al-Baqarah [2]:277
c.       Menggunakan uslub tarhib (intimidatif/peringatan) yang ditujukan kepada orang-orang yang menumpuk harta kekayaan dan tidak mau mengeluarkan zakatnya. Orang-orang semacam ini diancam dengan azab yang pedih sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah [9]:34
d.      Menggunakan uslub madh (pujian/sanjungan), yaitu pujian Tuhan terhadap orang-orang yang menunaikan zakat. Mereka disanjung sebagai penolong (wall) yang disifati dengan sifat ketuhanan, kerasulan, dan orang-orang yang beriman karena kesanggupan mereka memberikan yang mereka berikan berupa adat kepada orang lain ayat dalam………………………………………………….
        
   Dalam perjalanan sejarah, penerimaan Negara Islam bukan hanya bersumber dari zakat, namun banyak sumber lain baik sebagai sumber utama ataupun sekunder. Pajak, yang dewasa ini menjadi sumber penerimaan utama di hampir setiap Negara, juga mendapat perhatian oleh para ahli fiqh dewasa ini. Namun pandangan ahli fiqh klasik (utamanya ahli fiqh yang termasuk dalam empat madzhab fiqh) terhadap masalah pajak belum banyak yang membahas. Para ahli fiqh ini lebih banyak membahas tentang: fai’, ghanimah, jizyah, dan kharaj. Pemabahasan mereka berkisar tenteng definisi, pembagian, dan penggunaanya.
  
   Ulama fiqh kontemporer mengemukakan bahwa ada kewajiban material yang berbentuk pajak itu tidak diragukan keabsahannya karena ternyata pada waktu ini nagara memerlukan anggaran pendapatan yang besar sekali, yang keseluruhannya tidak mungkin terpenuhi dengan zakat. Pada saat ini dua kewajiban tersebut menyatu dalam diri seorang muslim bukan saja kewajiban pajak, tetapi juga kewajiban zakat sekaligus. 

IV.Instrument Pembiayaan Publik Dalam Islam
Berbagai instrument yang bisa digunakan sebagai sumber pembiayaan Negara pada dasarnya dapat dikembangkan karena pada hakikatnya hal ini merupakan aspek muamalah, kecuali dalam hal zakat. Artinya selama dalam proses penggalian sumber daya tidak terdapat pelanggaran syariah islam, maka selama itu pula diperkenankan menurut islam. Oleh karena itu, terdapat beberapa instrument yang bisa digunakan sebagai instrumen pembiayaan publik, yaitu sebagai berikut: 

1.      Zakat 
Zakat merupakan sumber pertama dan terpenting dari penerimaan Negara, pada awal pemerintahan islam. Sumber penerimaan lain adalah sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian setelah ini. Perlu dicatat, bahwa zakat bukanlah merupakan sumber penerimaan biasa bagi Negara Negara di dunia, karena itu juga tidak dianggap sebagai sumber pembiayaan utama.


2.      Asset dan Perusahaan Negara 
Dalam konteks kehidupan modern ini, dimana peperangan fisik sudah tidak lagi dilakukan atau para pasukan merupakan pasukan professional yang digaji, maka ghonimah tidak dapat dijadikansebagai sumber pendapatan. Pemerintah hanya mengambil 20% dari ghonimah untuk pengentasan kefakiran-kemiskinan, anak yatim, dan ibnu sabil. 
3.      Kharaj 
Kharaj atau biasa disebut dengan pajak tanah. Dalam pelaksanaanya, kharaj dibedakan menjadi dua, yaitu proporsional dan tetap. Secara proporsional artinya dikenakan sebagai bagian total dari hasil produksi pertanian, misalnya seperempat, seperlima, dan sebagainya. Secara tetap artinya pajak tetap atas tanah. Dengan kata lain, kharaj proporsional adalah tidak tetap tergantung pada hasil dan harga setiap jenis hasil pertanian. Sedangakan kharaj tetap dikenekan pada setahun sekali.
4.      Jizyah 
Meskipun jizyah merupakan hal wajib, namun dalam ajaran islam ada ketentuan, yaitu bahwa jizyah dikenakan kepada seluruh non muslim dewasa, laki laki, yang mampu membayarnya. Sedangkan bagi perampuan, anak anak, oran tua dan pendeta dikecualikan sebagai kelompok yang tidak wajib ikut bertempur dan tidak diharapkan mampu ikut bertempur.
5.      Wakaf 
Dalam hukum islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama kepada seseorang atau nadzir baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakan sesuai dengan syariat islam. 









V.Pandangan Para Ahli Tentang Keuangan Public Dalam Islam
Taqyuddin ahmad bin abdul halim ( ibnu taimiyyah)
Pemikiran ekonomi ibnu taimiyyah yang cukup signifikan adalah mengenai konvensasi wajar ( just konvensation) harga wajar, mekanisme pasar, mekanisme pasar, regulasi harga , hak kepemilikan, konsep bunga dan uang, kebijakan mometer, kemitraan, keuangan Negara dan kemitraan Negara.topik yang menjadi pengajian ibnu taimiyyah yakni mengenai control harga dimana dalam hal ini ada dua pendatan yang kontroversial .
Mazhab hambali dan hambali Negara tidak berhak menetapkan harga, sedangkan mazhab maliki dan hanafi, meyatakan bahawa Negara berhak untuk melakukan control harga dan menekankan adanya kebijakan harga yang wajar.

Ibnu taimiyyah melihat letak dalam dua hal perbedaan pandangan tersebut terletak pada dua hal yaitu pertama
Terjadinya harga yang melampau dipasar dan pelaku ekonomi menetapkan harga jauh lebih tinggi dari yang sewajarnya. Maka situasi seperti ini harus dihentikan seperti pendatnya imam malliki,
Adanya perbedaan pedapat dikalangan  ulama tentang penetapan harga maksimum untuk dealer, dalam kondisi normal jika mereka memenuhi kewajibany.

Imam al gazali
Menurut  imam al gazali bahwa tidak menjadi masalah penerapan mata uang emas dan perak, dengan catatan selama pemerintah mampu menjaga stabilitas mata uang tersebut sebagi alat pembayaran yang sah. Dalam salah satu tulisanya beliau menyampaikan “ uang ibarat seperti cermin “, tidak berwarna namun dapat merefleksikan warna






 Kesimpulan

Sejarah pada masa Rasulullah menunjukan bahwa keuangan public tertumpu untuk mempertahankan eksistensi ajaran dan umat islam dalam masyarakat. Alokasi untuk pertahanan dan keamanan serta syiar islam merupakan prioritas utama sebelum alokasi pembagunan ekonomi dilakukan.
Sumber-sumber keuangan publik dalam sejarah Islam selain zakat, mayoritas adalah bersifat sukarela, yaitu dalam bentuk infak, wakaf, dan sedekah. Baitul maal merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima Negara dan mengalokasikannya bagi kaum muslim yang berhak menerimanya, dengan arti lain, baitul maal adalah tempat penampungan dan pengeluaran harta, yang merupakan bagian dari pendapatan Negara. Baitul maal sebagai tempat penyimpanan harta yang masuk dan pengelolaan harta yang keluar, di masa Rasul belum merupakan tempat yang khusus. Ini disebabkan karena harta yang masuk pada saat itu belum begitu banyak. 
Pajak adalah berbsda dengan dharibah. Dharibah merupakan pungutan yang merupakan penutup devisit Negara. Pungutan yang dibebankan secara sepihak kepada warga tidak dapat dijadikan sebagai sumber penerimaan jangka panjang sehingga hal ini akan berpengaruh dalam memperhitungkan surplus atau devisit anggaran









DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.H.Veithzal Rival,.M.B.A & Ir.H.Andi Buchari,M.M,. ,ISLAMICS ECONOMICS
Ir.Adiwarman A.Karim,S.E,.MBA,.M.A.E.P “ EKONOMI MIKRO ISLAM”Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin
Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf, 1995

Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: IIIT
Indonesia, 2001

Arif Hartono, Agenda Lanjutan Pasca Institusional Zakat, dalam UNISI, No.
41/XXII/IV/20, h.331.

Didin Hafiduddin, Pembangunan Ekonomi Umat Berbasis Zakiat,
http://www.fai.uhamka.ac.id /viewcat.php/cal_id=4

Keuangan Publik Islam, http://www.Pkesinteraktif.com

Muhamamd Soekarni, Umi Karomah, dan Zaridah, Kebijakan Pengentasan
Kemiskinan dalam Islam, dalam Kebijakan Ekonomi Dalam Islam,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005

Muhammad Soekarni, Investasi Syariah, implementasi, Konsep, dan
Pernyataan Empirik, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.

Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Qardhawi, Hukum Zakat, Studi komparatif mengenai status dan Filsafat

No comments:

Post a Comment