KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Keuangan
publik sistem ekonomi syariah.adapun makalah ini kami susun untuk memenuhi
tugas dari Bapak Dr.Ihsan Ro’is selaku dosen mata kuliah sistem ekonomi
syariah. .
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai bagaimana sejarah dan teori tentang Keuangan publik menurut sistem ekonomi Syariah.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai bagaimana sejarah dan teori tentang Keuangan publik menurut sistem ekonomi Syariah.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Mataram,19
September
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
pengantar .................................................................................................... 1
Daftar
isi.............................................................................................................. 2
BAB
I.PENDAHULUAN..................................................................................
3
1. LATAR
BELAKANG............................................................................ 3
2. RUMUSAN
MASALAH....................................................................... 4
BAB
II.PEMBAHASAN................................................................................... 5
I. SEJARAH
KEUANGAN PUBLIK ISLAM......................................... 5
II. KAIDAH
KEUANGAN PUBLIK ISLAM.......................................... 9
III. KARAKTERISTIK
KEUANGAN PUBLIK ISLAM.......................... 13
IV. INSTRUMEN
KEUANGAN PUBLIK ISLAM................................... 14
V. PANDANGAN
PARA AHLI................................................................ 16
PENUTUP...........................................................................................................
17
KESIMPULAN.............................................................................................
17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 18
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Sejak zaman Nabi
Muhammad, ekonomi Islam telah berjalan hampir diseluruh jazirah Arab bahkan
sampai ke Afrika ini ditandai dengan adanya kelompok-kelompok atau suku-suku di
Arab waktu itu melakukan transaksi atau berdagang hingga berbulan-bulan, karena
dalam Islam tidak ada larangan bagi seorang Islam berhubungan toisriis dan
dagang dengan non Islam. Namun Islam juga memiliki prinsip-prinsip etika dalam
melakukan Ekonomi Islam yang salah satunya adalah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba (bunga) yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an.
Sistem ekonomi Islam sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalis yang banyak diterapkan oleh negara-negara barat termasuk negara-negara Islam. Namun akhir-akhir ini ekonomi Islam yang diterapakn secara syariah ulai diperhitungkan oleh ekonomi Global, terbukti pada saat menjadi solusi untuk menyelamatka dari krisis ekonomi di tahun 1998. Hal ini dibuktikan di tengah krisis ekonomi tahun 1998, ketika perbankan konvensional berguguran (likuidasi) oleh Pemerintah, ekonomi syariah mampu bertahan. Sistem Ekoomi Syariah memliki prospek yang sangat baik untuk berkembang di negara-negara Islam khususnya di Indonesia. Tidak hanya itu saja saat ini pun sudah banyak lembaga keuangan dengan prinsip syariah seperti, asuransi, pegadaian, pasar modal, dan komoditas syariah.
Pada prinsipnya sistem ekonomi syariah Islam bukan hanya untuk mementingkan suatu golongan tertentu atau setidaknya kepentingan sendiri untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan bagaiman kondisi nasabahnya. Perekonomian Islam tidak menggunakan sistem riba melainkan dengan sistem bagi hasil yang transparan, jujur dan akad (perjanjian) yang baik.
Kemunduran ekonomi kapitalis yang menerapkan asas pasar bebas dan ekonomi sosialis dengan kontrol negara dalam perekonomian secara terpusat, merupakan titik pijak bagi perkembangan ekonomi syariah. Asas yang didepankan dalam ekonomi syariah adalah keadilan atau kesetaraan hak dan kewajiban, peniadaan segala bentuk penindasan atau penggerogotan terhadap pihak lain, serta memiliki dimensi sosiologis. Pilar utama perekonomian syariah adalah perbankan syariah
Sistem ekonomi Islam sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalis yang banyak diterapkan oleh negara-negara barat termasuk negara-negara Islam. Namun akhir-akhir ini ekonomi Islam yang diterapakn secara syariah ulai diperhitungkan oleh ekonomi Global, terbukti pada saat menjadi solusi untuk menyelamatka dari krisis ekonomi di tahun 1998. Hal ini dibuktikan di tengah krisis ekonomi tahun 1998, ketika perbankan konvensional berguguran (likuidasi) oleh Pemerintah, ekonomi syariah mampu bertahan. Sistem Ekoomi Syariah memliki prospek yang sangat baik untuk berkembang di negara-negara Islam khususnya di Indonesia. Tidak hanya itu saja saat ini pun sudah banyak lembaga keuangan dengan prinsip syariah seperti, asuransi, pegadaian, pasar modal, dan komoditas syariah.
Pada prinsipnya sistem ekonomi syariah Islam bukan hanya untuk mementingkan suatu golongan tertentu atau setidaknya kepentingan sendiri untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan bagaiman kondisi nasabahnya. Perekonomian Islam tidak menggunakan sistem riba melainkan dengan sistem bagi hasil yang transparan, jujur dan akad (perjanjian) yang baik.
Kemunduran ekonomi kapitalis yang menerapkan asas pasar bebas dan ekonomi sosialis dengan kontrol negara dalam perekonomian secara terpusat, merupakan titik pijak bagi perkembangan ekonomi syariah. Asas yang didepankan dalam ekonomi syariah adalah keadilan atau kesetaraan hak dan kewajiban, peniadaan segala bentuk penindasan atau penggerogotan terhadap pihak lain, serta memiliki dimensi sosiologis. Pilar utama perekonomian syariah adalah perbankan syariah
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
sejarah keuangan public di zaman Rasulullah SAW ?
2. Kaidah
keuangan publik islam?
3. Apa
saja karakteristik keuangan publik islam ?
4. Apa
saja instrument keuangan publik dalam islam ?
BAB
II
PEMBAHASAN
I.Sejarah
Keuangan Publik Islam
Ketika
perkembangan islam mulai tampak, dan islam telah didakwahkan secara terang –
terangan (persuasive), Rasulullah SAW. Mulai mengutus para sahabat untuk
dijadikan duta guna mendakwahkan agama dan mengambil zakat masyarakat Arab. Hal
utama yang harus dilakukan utusan adalah memberikan pelajaran agama terlebih
dahulu kepada pemimpin kabilah, dan diharapkan bisa merambah pada kaumnya,
Rasulullah SAW telah mendelegasikan Muadz bin jabal ke Yaman dengan job
deskripsi yang jelas, seraya bersabda: “ Engkau aku utus untuk datang
kepada kaum ahli kitab. Persoalan utama yang harus engkau dakwahkan kepada
mereka adalah mengajak untuk beribadah kepada Allah SWT. Jika mereka telah
mengetahui Allah SWT, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan
membayar zakat. Zakat ditarik ( diwajibkan ) dari orang – orang kaya, dan
selanjutnya dibagikan kepada kaum kafir. Jika mereka menantinya, maka ambilah
dari mereka dan jaga kemuliaan harta mereka. Dan takutlah terhadap doa orang
yang terdzalimi, karena doa mereka tidak ada hijab dengan Allah.”
Rasulullah
SAW, pernah mengirimkan surat kepada pegawainya Amr bin harits di najran
tentang persoalan zakat, sedekah dan diyat. Rasulullah juga selektif dalam
memilih pegawainya, yakni mereka yang agamanya kuat (shalih) dan merupakan
pionir dalam masuk agama islam. Agar perekonomian dan pemerintahan Rasulullah
SAW menjadi kuat serta dapat membiayai kehidupan umat islam.
Tujuan
utama dalam perekonomian adalah Untuk mencapai falah yang maksimum, tidak
seluruh aktifitas ekonomi bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. Adakalanya
mekanisme pasar gagal menyediakan barang dan jasa yang dibutuhka oleh
masyarakat ataupun mekanisme pasar tidak bekerja secara fair dan adil.
Permasalahan
selanjutnya yang muncul adalah bagaimana berjalannya perekonomian Islam pada
zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrasidin, darimana sumber dana yang digunakan
untuk penyediaan barang atau jasa tersebut, bagaimana alokasi dan distribusi
barang atau jasa yang disediakan oleh pemerintah atau masyarakat
tersebut.
1.
Keuangan Publik Pada Masa Rasulullah SAW.
Untuk
memahami sejarah keuangan publik pada masa Rasulullah SAW dan
Khulafaurrasyidin, dapat dilihat dari praktik dan kebijakan yang diterapkan
oleh beliau dan para sahabat. Mengenai keuangan publik pada masa Rasulullah SAW
adalah berangkat dari kedudukan beliau sebagai kepala Negara. Demikian halnya
dengan para sahabat Khulafaurrasyidin.
Setelah
selama 13 tahun di Mekkah, beliau hijrah ke Madinah. Pada saat hijrah ke
Madinah, kota ini masih dalam keadaan kacau, belum memiliki pemimpin ataupun
raja yang berdaulat. Di kota ini banyak suku, salah satunya adalah suku Yahudi
yang dipimpin oleh Abdullah Ibn Ubay. Setelah Rasulullah SAW hijrah ke
Madinah, maka Madinah dalam waktu singkat , mengalami kemajuan yang pesat.
Rasulullah SAW berhasil memimpin seluruh pusat pemerintahan Madinah, menerapkan
prinsip-prinsip dalam pemerintahan dan organisasi, membangun
institusi-institusi, mengarahkan urusan luar negeri, membimbing para sahabatnya
dalam memimpin dan pada akhirnya melepaskan jabatannya secara penuh.
2.
Keuangan Publik Pada Masa Khulafaurrasyidin .
a.
Masa Kekhalifahan Abu Bakar As-shiddiq
Abu
Bakar Shiddiq terpilih sebagai khalifah dalam kondisi miskin, sebagai pedagang
dengan hasil yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sejak menjadi khalifah,
kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus oleh kekayaan dari Baitul Maal
ini. Menurut beberapa keterangan, beliau diperbolehkan mengambil dua
setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dari Baitul Maal dengan
tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan
beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga
ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan lain 6.000 dirham
per-tahun.
Selama
sekitar 27 bulan dimasa kepemimpinannya, Abu Bakar As-Shiddiq telah banyak
menangani masalah murtad, cukai, dan orang-orang yang menolak membayar zakat
kepada Negara. Abu Bakar As-Shiddiq sangat memerhatikan keakuratan penghitungan
zakat. Zakat selalu didistribusikan setiap periode dengan tanpa sisa. Sistem
pendistribusian ini tetap dilanjutkan, bahkan hingga beliau wafat hanya 1
dirham yang tersisa dalam pembendaharaan keuangan.
b.
Masa Kekhalifahan Umar Bin Khatab Al-Faruqi
Ada
beberapa hal yang perlu dicatat berkaitan dengan masalah kebijakan keuangan
Negara pada masa khalifah Umar, diantaranya adalah:
1)
Baitul Maal
Property
Baitul Maal dianggap sebagai “harta kaum muslim” sedangkan khalifah dan
amil-amilnya hanyalah pemegang kepercayaan. Jadi, merupakan tanggun jawab Negara
untuk menyediakan tunjangan yang berkesinambungan untuk janda, anak yatim, anak
terlantar, membiayai penguburan orang miskin, membayar hutang orang-orang
bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu dan untuk memberikan
pinjaman tanpa bunga untuk urusan komersial .
2)
Kepemilikan Tanah
Sepanjang
pemerintahan Umar, banyak daerah yang ditaklukan melalui perjanjian damai.
Disinilah mulai timbul permasalahan bagaimana pembagiaanya, diantaranya ada
sahabat yang menuntut agar kekayaan tersebut didistribusikan kepada para
pejuang, sementara yang lainnya menolak. Oleh karena itu, dicarilah suatu
rencana yang cocok baik untuk mereka yang datang pertama maupun yang datang
terakhir.
3)
Zakat dan Ushr
Sebelum
Islam, setiap suku atau kelompok suku yang tinggal di pedesaan biasa membayar
pajak (ushr) pembelian dan penjualan (maqs). Setelah Negara Islam berdiri di
Arabia, Nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan
menghapuskan bea masuk antar propinsi yang masuk dalam daerah kekuasaan dan
masuk dalam perjanjian yang ditangani oleh beliau bersama dengan suku-suku yang
tunduk kepada kekuasaaanya.
4)
Sedekah untuk non-Muslim
Tidak
ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Banu
Taghlib yang seluruh kekayaannya terdiri dari ternak. Mereka membayar 2 kali
lipat dari yang dibayar kaum muslim. Banu Taghlib adalah suku Arab Kristen yang
menderita akibat perperangan. Umar mengenakan Jizyah kepada mereka, tetapi
mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar
sedekah. Namun, Ibnu Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka. Ia mengatakan
bahwa pada dasarnya tidaklah bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan
seharusnya keberanian mereka menjadi asset Negara. Umar pun memanggil mereka
dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar, dengan syarat mereka setuju
untuk tidak mebaptis seorang anak atau memaksakannya untuk menerima kepercayaan
mereka. Mereka pun menyetujui dan menerima membayar sedekah ganda.
5)
Mata Uang
Pada
masa nabi dan sepanjang masa Khulafaurrasyidin mata uang asing dengan berbagai
bobot sudah dikenal di Arabia, seperi dinar, sebuah koin emas dan dirham sebuah
koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan mistqal atau sama dengan dua puluh
qirath atau seratus grain barley. Bobot dirham tidak seragam. Untuk menghindari
kebingungan, Umar menetapkan bahwa dirham perak seberat 14 qirath atau 70 grain
barley. Dus, rasio antara 1 dirham dan 1 mistqal adlah 7 per 10. Meskipun
demikian, perlu diketahui bahwa sebelum nabi lahir, perekonomian saat itu telah
menggunakan emas dan perak sebagai alat transaksi.
6)
Klasifikasi Pendapatan Negara
Pada
periode awal Islam, para khalifah mendistribusikan semua pendapatan yang
diterima. Kebijakan tersebut berubah pada masa Umar. Pendapatan yang diterima
di Baitul Maal terbagi dalam 4 jenis:
a)
Zakat dan ushr
Dana ini
dipungut secara wajib diperoleh dari kaum Muslimin dan didistribusikan kepada 8
asnaf dalam tingkat lokal. Kelebihan disimpan di Baitul Maal pusat, dan akan
dibagikan kembali.
b)
Khums dan Sedekah
Dana ini
dibagikan kepada orang yang sangat membutuhkan dan fakir miskin atau untuk
membiayai kegiatan mereka dalam mencari kesejahteraan tanpa diskriminasi
c)
Kharaj, fay, jizyah, ushr dan sewa tetap tahunan tanah
Dana ini
diperoleh dari pihak luar (non-Muslim/non-warga) dan didistribusikan untuk
membayar dana pensiun dan dana bantuan, serta menutupi pengeluaran operasional
administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
d)
Berbagai macam pendapatan yang diterima dari semua macam sumber. Dana ini
dikeluarkan untuk para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana
sosial lainnya.
7)
Pengeluaran
Bagian
pengeluaran yang paling penting dari pendapatan keseluruhan adalah dana pension
kemudian diikuti oleh dana pertahanan Negara dan dana pembangunan. Secara garis
besar pengeluaran Negara pada masa kekhalifahan Umar dikeluarkan untuk
kebutuhan yang mendapat prioritas pertama, yaitu pengeluaran dana pensiunbagi
mereka yang bergabung dalam kemiliteran, baik muslim maupun non-Muslim. Dana
tersebut juga termasuk pensiunan bagi pegawai sipil.
c.
Masa Kekhalifahan Utsman Bin Affan
Utsman bin Affan
adalah khalifah ketiga. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, Kabul,
Ghazni, Kerman, dan Sistan ditaklukkan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan
Umar diikuti. Tidak lama setelah Negara-negara tersebut ditaklukkan, kemudian
tindakan efektif diterapkan dalam rangka pengembangan Sumber Daya Alam (SDA).
Aliran air digali, jalan dibangun, pohon buah-buahan ditanam dan keamanan
perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.
Khalifah Utsman tidak
mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, dia meringankan beban pemerintah
dalam hal; yang serius. Dia bakan menyimpan uangnya di bendahara Negara. Hal
ini menimbulkan kesalahpahamn antarakhalifah dan Abdullah Bin Arqom, salah
seorang sahabat nabi yang terkemuka, yang berwenang melaksanakan kegiatan
baitul maal pusat. Beliau juga berusaha meningkatkan pengeluaran dan
pertahanandan kelautan, meningkatkan dana pensiun dan pembanguunan di wilayah
takhlukan baru, khalifah membuat beberapa perubahan administrasi dan
meningkatkan kharaj dan jizyah dari Mesir.
Lahan luas yang
dimiliki keluarga kerajaan Persia diambil alih oleh Umar, tetapi dia
menyimpannya sebagai lahan Negara yang tidak dibagi-bagi. Sementara itu, Utsman
membaginya kepada individu-individu untuk reklamasi dan untuk kontribusi
sebagai bagian yang diprosesnya kepada Baitul Maal. Dilaporkan bahwa lahan ini
pada masa khalifah Umar bin Khattab menghasilkan Sembilan juta dirham, tetapi
pada masa Utsman bin Affan ketika lahan telah dibagikan kepada
individu-individu, penerimaannya meningkat menjadi lima puluh juta. Pada
periode selanjutnya dia juga mengizinkan menukar lahan tersebut dengan lahan
yang ada di Hijaz dan Yaman, sementara kebijakan Umar tidak demikian.
d.
Masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya
khalifah Utsman bin Affan, Ali terpilih sebagai khalifah dengan suara bulat.
Ali menjadi khalifah selama 5 tahun. Kehidupan Ali sangat sederhana dan dia
sangat ketat dalam menjalankan keuangan Negara. Gubernur Ray dijebloskan ke
penjara oleh khalifah dengan tuduhan penggelapan uang Negara.
Dalam hal penerimaan
Negara, Ali masih membebankan pungutan khums atas ikan atau hasil hutan.
Menurut Baladhuri, Ali membebankan para pemilik hutan (Ajmat) 4.000 dirham. Di
hutan ini, terdapat ngarai yang dalam, yang menurut beberapa orang, tanahnya
dibuat untuk batu-batu istana, dan menurut yang lainnya, itu adalah tanah
longsor
Berbeda dengan
khalifah Umar, khalifah Ali mendistribusikan seluruh pendapatan di baitul maal
ke profinsi yang ada di baitul maal Madinah, Bushra dan Kufa. System sistribusi
setiap pecan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari
pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu penghitungan diselesaikan
dan pada hari sabtu dimulai perhitungan baru.
Dalam hal alokasi
pengeluaran masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa kepemimpinan khalifah
Umar bin Khattab. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah jumlahnya pada
masa kepemimpinan Utsman bin Affan hamper dihilangkan seluruhnya karena daerah
sepanjang garis pantai seperti Syiria, Palestina, dan Mesir berada dibawah
kekuasaan Muawiyah. Namun, dengan adanya penjaga malam dan patrol (diciptakan
oleh Umar), khalifah keempat tetap menyediakan polisi regular yang
terorganisasi, yang disebut Shurta, dan pemimpinnya diberi gelar
Sahibush-Shurta. Fungsi lain dari Baitul Maal masih tetap sama seperti yang
dulu dan tidak ada perkembangan aktivitas yang berarti pada periode ini.
II.Kaidah
Keuangan Publik Islam
Belanja negara adalah
semua pengeluaran negara untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan dana
perimbangan (Pasal 1 Angka 7 UU Nomor 35 Tahun 2000 Tentang APBN Tahun 2001)
Dalam konsep ekonomi Islam, belanja negara
harus sesuai dengan syari’iyyah dan penentuan skala prioritas. Para ulama
terdahulu telah memberikan kaidah umum yang disyariatkan dalam Al-Qur’an dan
as-sunah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Kaidah-kaidah
tersebut sebagai berikut
a.
Bahwa timbangan
kebijakan pengeluaran dan belanja pemerintahan harus senantiasa mengikuti
kaidah maslahah.
b.
Menghindari masyaqqah,
(al-masyaqqah), menurut arti bahasa adalah at-ta’ab, yaitu
kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran.
c.
Mudarat
individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat skala besar.
d.
Pengorbanan
individu atau kerugian individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan
pengorbanan dalam skala umum.
e.
Kaidah “al-giurmu
bil gunmi’, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat
harus siap menanggung beban.
f.
Kaidah “ma> la> yatimmu al-wa>jibu illa> bihi fahuwa wa>jib”, yaitu kaidah
yang menyatakan bahwa; ”sesuatu hal yang wajib ditegakkan, dan tanpa ditunjang
oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakkan faktor
penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam
merealisasikan efektivitas dan efisiensi dalam pola pembelanjaan pemerintah
dalam Islam sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai.
Tujuan pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sebagai beriku
a. Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat
masyarakat.
c. Pengeluaran yang mengarah pada semakin
bertambahnya permintaan efektif.
d. Penegeluaran yang berkaitan dengan investasi
dan produksi.
Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem
ekonomi syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian, sebagai
berikut.
a. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang
rutin.
b. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah
apabila sumber dananya tersedia.
c. Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang
disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.
Adapun kaidah syariah yang berkaitan dengan
belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin mengacu pada kaidah-kaidah
yang telah disebutkan di atas, secara lebih perinci pembelanjaan negara harus
didasarkan pada hal-hal berikut ini
a. Bahwa kebijakan belanja rutin harus sesuai
dengan asas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan
seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pemerintah.
b. Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja
rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dalam biaya semurah-murahnya,
dengan sendirinya jauh dari sifat mubadzir dan kikir di samping alokasinya pada
sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
c. Kaidah selanjutnya adalah tidak berpihak pada
kelompok kaya dalam pembelanjaannya, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok
miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada nas-nas yang sahih seperti pada
kasus “al-hima” yaitu tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus
diperuntukkan bagi kepentingan umum. Ketika Rasulullah mengkhususkan tanah
untuk pengembalaan ternak kaum duafa, Rasulullah melarang ternak-ternak
milik para agniya atau orang kaya yang mengembala di sana. Bahkan Umar
berkata: “Hati-hati jangan sampai ternak Abdurrahman bin Auf mendekati lahan
pengembalaan kaum duafa.”
d. Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan
syariah, maka alokasi belanja negara hanya hanya boleh pada hal-hal yang mubah
dan menjauhi yang haram.
e. Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala
prioritas syariah, di mulai dari yang wajib, sunah, dan mubah.
Adapun belanja umum yang dapat dilakukan
pemerintah apabila sumber dananya tersedia, mencakup
pengadaan infrastruktur air,
listrik, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Selanjutnya adalah belanja umum
yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut
sistem pendanaannya. Bentuk belanja seperti ini biasanya melalui mekanisme
produksi barang-barang yang disubsidi. Subsidi sendiri sesuai dengan konsep
syariah yang memihak kepada kaum fuqara dalam hal kebijakan keuangan,
yaitu bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka. Tetapi konsep subsidi harus
dibenahi sehingga mekanisme tersebut mencapai tujuannya. Konsep tersebut di
antaranya adalah dengan penentuan subsidi itu sendiri, yaitu bagi yang
membutuhkan bukan dinikmati oleh orang kaya, atau subsidi dalam bentuk bantuan
langsung.
Analisis Kebijakan
Pengeluaran Negara Sepanjang Sejarah Dalam Islam
Menurut Ibnu Taimiyah,, prinsip dasar dari
pengelolaan pengeluaran adalah pendapatan yang berada di tangan pemerintahan
atau negara merupakan milik masyarakat sehingga harus dibelanjakan untuk
kebutuhan masyarakat sesuai dengan pedoman Allah SWT. Saat membelanjakan
membelanjakan uang masyarakat, maka harus diprioritaskan kepada hal-hal yang
penting. Dalam pandangannya, pembelanjaan utama antara lain:
a.
Kaum miskin dan
yang membutuhkan.
b.
Pemeliharaan
tentara untuk jihad dan pertahanan.
c.
Pemeliharaan
ketertiban dan hukum internal.
d.
Pensiun dan
gaji pegawai.
e.
Pendidikan.
f.
Infrastruktur.
g.
Kesejahteraan
umum.
Dalam pengalokasian sumber penerimaan terhadap
pengeluaran tidak serta-merta dilakukan untuk pengeluaran tersebut di atas. Ada
pengaturan dan penyesuaian antara sumber pendapatan dan pengeluaran. Untuk
penerimaan dari zakat dan ganimah peruntukannya sudah ditentukan seara
jelas dalam Al-Qur’an, sedangkan fa pemanfaatannya
lebih fleksibel untuk meng-cover pengeluaran publik lainnya.
Menurut Sakti, dalam Islam, semua jenis
pendapatan dimasukan ke dalam bait al-ma>l, lalu
digunakan pada dua jenis penyaluran, anggaran untuk kesejahteraan dan anggaran
untuk umum. Adapun anggaran untuk umum berasal dari pendapatan lainnya, seperti
pajak dan non-pajak. Didapatkan bahwa Islam lebih terfokus pada kesejahteraan
masyarakatnya daripada pertumbuhan ekonomi semata. Dalam pengelolaan agama
Islam pemerintah sebaiknya mendahulukan kepentingan syariah daripada
pertimbangan negara yang bersifat keduniaan.
III.Karakteristik
Keuangan Publik dalam islam
Pandangan Ahli Fiqh terhadap Zakat dan Pajak
Zakat merupakan kewajiban yang
dibebankan kepada setiap orang Islam setelah memenuhi kriteria tertentu. Dalam
Al-Qur’an terdapat 32 kata zakat, dan 82 kali di ulang dengan menggunakan
istilah yang merupakan sinonim dari kata zakat, yaitu kata sedekah dan infaq.
Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi,
dan peranan yang sangat penting dalam islam. Dari 32 ayat dalam Al-Qur’an
yang memuat ketentuan zakat tersebut, 29 ayat diantaranya menghubungkan
ketentuan zakat dengan shalat.
Nash Al-Qur’an tentang zakat diturunkan dalam dua
periode, yaitu periode Makkah sebanyak delapan ayat (Al-Muzzammil [73] : 20 ,
Al-Bayyinah [98] : 5) dan periode Madinah sebanyak 24 ayat (misalnya Al-Baqarah
[2] : 43 , Al-Maidah [5] : 12). Perintah zakat yang diturunkan pada periode
Makkah, sebagaimana terdapat dalam kedua ayat tersebut diatas, baru merupakan
anjuran untuk berbuat baik kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan
bantuan. Sedangkan yang diturunkan pada periode Madinah, merupakan perintah
yang telah menjadi kewajiban mutlak (ilzami).
Dilihat dari segi kebahasaan, teks-teks Al-Qur’an
yang mengungkapkan perihal zakat, sebagian besar dalam bentuk amr (perintah)
dengan menggunakan kata atu (tunaikan), yang berarti berketetapan; segera;
sempurna sampai akhir; kemudahan; mengantar; dan seorang yang agung. Kata
tersebut bermakna al-I’tha’, suatu perintah untuk menunaikan atau membayarkan.
Al-Qur’an menampilkan kata zakat dalam empat gaya
bahasa (uslub), yaitu :
a. Menggunakan
uslub insyai, yaitu berupa perintah, seperti terlihat dalam QS. Al-Baqarah
[2]:42, 83, 110; Al-Hajj [22]:78; Al-Ahzab [33]:33; Al-Nur [241]:56;
Al-Muzammil [73]:20, dengan menggunakan kata atu atau anfiqu. Dalam ayat lain
digunakan pula kata kerja dengan menggunakan kata khuz, yaitu perintah untuk
mengambil atau memungut zakat (shadaqah), seperti terdapat dalam QS. At-Taubah
[9]:103. Sasaran perintah ini adalah para penguasa (amil zakat) untuk memungut
dan mengelola zakat dari para wajib zakat.
b. Menggunakan uslub
targhib (motivatif), yaitu suatu dorongan untuk tetap mendirikan shalat dan
membayarkan zakat yang merupakan ciri orang yang keimanan dan ketaqwaannya
dianggap benar, kepada mereka dijanjikan akan memperoleh ganjaran berlipat
ganda dari Tuhan. Salah satu bentuk targhib ini dapat ditemukan pada QS
Al-Baqarah [2]:277
c. Menggunakan
uslub tarhib (intimidatif/peringatan) yang ditujukan kepada orang-orang yang
menumpuk harta kekayaan dan tidak mau mengeluarkan zakatnya. Orang-orang
semacam ini diancam dengan azab yang pedih sebagaimana disebutkan dalam QS.
At-Taubah [9]:34
d. Menggunakan uslub
madh (pujian/sanjungan), yaitu pujian Tuhan terhadap orang-orang yang
menunaikan zakat. Mereka disanjung sebagai penolong (wall) yang disifati dengan
sifat ketuhanan, kerasulan, dan orang-orang yang beriman karena kesanggupan
mereka memberikan yang mereka berikan berupa adat kepada orang lain ayat
dalam………………………………………………….
Dalam perjalanan sejarah, penerimaan
Negara Islam bukan hanya bersumber dari zakat, namun banyak sumber lain baik
sebagai sumber utama ataupun sekunder. Pajak, yang dewasa ini menjadi sumber
penerimaan utama di hampir setiap Negara, juga mendapat perhatian oleh para
ahli fiqh dewasa ini. Namun pandangan ahli fiqh klasik (utamanya ahli fiqh yang
termasuk dalam empat madzhab fiqh) terhadap masalah pajak belum banyak yang
membahas. Para ahli fiqh ini lebih banyak membahas tentang: fai’, ghanimah,
jizyah, dan kharaj. Pemabahasan mereka berkisar tenteng definisi, pembagian,
dan penggunaanya.
Ulama fiqh kontemporer mengemukakan
bahwa ada kewajiban material yang berbentuk pajak itu tidak diragukan keabsahannya
karena ternyata pada waktu ini nagara memerlukan anggaran pendapatan yang besar
sekali, yang keseluruhannya tidak mungkin terpenuhi dengan zakat. Pada saat ini
dua kewajiban tersebut menyatu dalam diri seorang muslim bukan saja kewajiban
pajak, tetapi juga kewajiban zakat sekaligus.
IV.Instrument
Pembiayaan Publik Dalam Islam
Berbagai instrument yang bisa digunakan sebagai
sumber pembiayaan Negara pada dasarnya dapat dikembangkan karena pada
hakikatnya hal ini merupakan aspek muamalah, kecuali dalam hal zakat. Artinya
selama dalam proses penggalian sumber daya tidak terdapat pelanggaran syariah
islam, maka selama itu pula diperkenankan menurut islam. Oleh karena itu,
terdapat beberapa instrument yang bisa digunakan sebagai instrumen pembiayaan
publik, yaitu sebagai berikut:
1. Zakat
Zakat merupakan sumber pertama dan terpenting dari
penerimaan Negara, pada awal pemerintahan islam. Sumber penerimaan lain adalah
sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian setelah ini. Perlu dicatat, bahwa
zakat bukanlah merupakan sumber penerimaan biasa bagi Negara Negara di dunia,
karena itu juga tidak dianggap sebagai sumber pembiayaan utama.
2. Asset dan
Perusahaan Negara
Dalam konteks kehidupan modern ini, dimana
peperangan fisik sudah tidak lagi dilakukan atau para pasukan merupakan pasukan
professional yang digaji, maka ghonimah tidak dapat dijadikansebagai sumber
pendapatan. Pemerintah hanya mengambil 20% dari ghonimah untuk pengentasan
kefakiran-kemiskinan, anak yatim, dan ibnu sabil.
3. Kharaj
Kharaj atau biasa
disebut dengan pajak tanah. Dalam pelaksanaanya, kharaj dibedakan menjadi dua,
yaitu proporsional dan tetap. Secara proporsional artinya dikenakan sebagai
bagian total dari hasil produksi pertanian, misalnya seperempat, seperlima, dan
sebagainya. Secara tetap artinya pajak tetap atas tanah. Dengan kata lain,
kharaj proporsional adalah tidak tetap tergantung pada hasil dan harga setiap
jenis hasil pertanian. Sedangakan kharaj tetap dikenekan pada setahun sekali.
4. Jizyah
Meskipun jizyah
merupakan hal wajib, namun dalam ajaran islam ada ketentuan, yaitu bahwa jizyah
dikenakan kepada seluruh non muslim dewasa, laki laki, yang mampu membayarnya.
Sedangkan bagi perampuan, anak anak, oran tua dan pendeta dikecualikan sebagai
kelompok yang tidak wajib ikut bertempur dan tidak diharapkan mampu ikut
bertempur.
5. Wakaf
Dalam hukum islam,
wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama kepada seseorang atau
nadzir baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya
digunakan sesuai dengan syariat islam.
V.Pandangan
Para Ahli Tentang Keuangan Public Dalam Islam
Taqyuddin
ahmad bin abdul halim ( ibnu taimiyyah)
Pemikiran ekonomi ibnu taimiyyah yang cukup
signifikan adalah mengenai konvensasi wajar ( just konvensation) harga wajar,
mekanisme pasar, mekanisme pasar, regulasi harga , hak kepemilikan, konsep
bunga dan uang, kebijakan mometer, kemitraan, keuangan Negara dan kemitraan
Negara.topik yang menjadi pengajian ibnu taimiyyah yakni mengenai control harga
dimana dalam hal ini ada dua pendatan yang kontroversial .
Mazhab hambali dan hambali Negara
tidak berhak menetapkan harga, sedangkan mazhab maliki dan hanafi, meyatakan
bahawa Negara berhak untuk melakukan control harga dan menekankan adanya
kebijakan harga yang wajar.
Ibnu taimiyyah melihat letak dalam
dua hal perbedaan pandangan tersebut terletak pada dua hal yaitu pertama
Terjadinya harga yang melampau dipasar dan pelaku
ekonomi menetapkan harga jauh lebih tinggi dari yang sewajarnya. Maka situasi
seperti ini harus dihentikan seperti pendatnya imam malliki,
Adanya perbedaan pedapat dikalangan ulama tentang penetapan harga maksimum untuk
dealer, dalam kondisi normal jika mereka memenuhi kewajibany.
Imam
al gazali
Menurut imam
al gazali bahwa tidak menjadi masalah penerapan mata uang emas dan perak,
dengan catatan selama pemerintah mampu menjaga stabilitas mata uang tersebut
sebagi alat pembayaran yang sah. Dalam salah satu tulisanya beliau menyampaikan
“ uang ibarat seperti cermin “, tidak berwarna namun dapat merefleksikan warna
Kesimpulan
Sejarah pada masa Rasulullah menunjukan bahwa keuangan
public tertumpu untuk mempertahankan eksistensi ajaran dan umat islam dalam
masyarakat. Alokasi untuk pertahanan dan keamanan serta syiar islam merupakan
prioritas utama sebelum alokasi pembagunan ekonomi dilakukan.
Sumber-sumber keuangan publik dalam sejarah Islam selain
zakat, mayoritas adalah bersifat sukarela, yaitu dalam bentuk infak, wakaf, dan
sedekah. Baitul maal merupakan institusi khusus yang menangani harta yang
diterima Negara dan mengalokasikannya bagi kaum muslim yang berhak menerimanya,
dengan arti lain, baitul maal adalah tempat penampungan dan pengeluaran harta,
yang merupakan bagian dari pendapatan Negara. Baitul maal sebagai tempat
penyimpanan harta yang masuk dan pengelolaan harta yang keluar, di masa Rasul
belum merupakan tempat yang khusus. Ini disebabkan karena harta yang masuk pada
saat itu belum begitu banyak.
Pajak adalah berbsda dengan dharibah. Dharibah merupakan pungutan
yang merupakan penutup devisit Negara. Pungutan yang dibebankan secara sepihak
kepada warga tidak dapat dijadikan sebagai sumber penerimaan jangka panjang
sehingga hal ini akan berpengaruh dalam memperhitungkan surplus atau devisit
anggaran
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.Dr.H.Veithzal Rival,.M.B.A & Ir.H.Andi
Buchari,M.M,. ,ISLAMICS ECONOMICS
Ir.Adiwarman A.Karim,S.E,.MBA,.M.A.E.P “ EKONOMI
MIKRO ISLAM”Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M.
Nastangin
Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf,
1995
Adiwarman A. Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: IIIT
Indonesia, 2001
Arif Hartono, Agenda Lanjutan
Pasca Institusional Zakat, dalam UNISI, No.
41/XXII/IV/20, h.331.
Didin Hafiduddin, Pembangunan
Ekonomi Umat Berbasis Zakiat,
http://www.fai.uhamka.ac.id
/viewcat.php/cal_id=4
Keuangan Publik Islam,
http://www.Pkesinteraktif.com
Muhamamd Soekarni, Umi
Karomah, dan Zaridah, Kebijakan Pengentasan
Kemiskinan dalam
Islam, dalam Kebijakan Ekonomi Dalam Islam,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005
Muhammad Soekarni, Investasi
Syariah, implementasi, Konsep, dan
Pernyataan
Empirik,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.
Nuruddin Mhd. Ali, Zakat
Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal,
Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006.
Qardhawi, Hukum Zakat, Studi komparatif mengenai
status dan Filsafat
No comments:
Post a Comment